Tuesday, January 6, 2015

Responding To Sexual Violence in Conflict Areas

"Para prajurit membakar desa-desa kami. Mereka menembak suami dan saudara-saudara kami, membakar rumah-rumah kami. Mereka berhenti untuk menunggu suara bayi kami menangis. Ketika mereka menangis, tentara datang ke ratapan bayi-bayi itu. Mereka membunuh bayi kami. Mereka memperkosa kami..."
 - Wanita suku Mayan di Guatemala, korban pemerkosaan di daerah konflik.

Setiap konflik antarnegara, antardaerah maupun antargolongan tentu selalu membawa dampak kerugian dan kekerasan kepada warga sipilnya. Wilayah konflik adalah wilayah yang rentan terhadap kekerasan, terutama terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Kekerasan seksual berbasis gender sering digunakan sebagai alat perang untuk menyerang perempuan dan anak-anak. Seringkali dalam keadaan darurat seperti perang dan konflik, negara tidak mempunyai cukup sumberdaya untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak warga sipil. Besarnya angka kekerasan terhadap perempuan dilatarbelakangi oleh konflik berkepanjangan yang membawa wilayah atau negara tersebut pada krisis kemanusiaan. Kekerasan seksual dalam wilayah konflik bersenjata mempunyai berbagai macam motif dalam aksinya. Oleh karena hal ini dianggap sebagai senjata yang efektif untuk menghancurkan mental lawan misalnya, ataupun menghancurkan moral individu, keluarga maupun kelompok tertentu. Masih minimnya kesadaran masyarakat akan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, semakin memperkuat stigma yang menimbulkan rasa trauma, malu, ketakutan dan beban, sehingga para korban tidak berani melaporkan kejahatan seksual yang telah diterimanya. 

Trauma perkosaan sangat sulit untuk diatasi. Mereka, para korban kekerasan seksual itu, mempunyai berbagai macam rasa trauma yang sama. Namun, mereka menghadapi rasa trauma itu dengan caranya masing-masing. Pada rasa trauma yang mendalam itu, tidak seorang pun yang mampu mengerti. Tetapi dengan keberanian dan ketabahan banyak korban, beberapa dari mereka mampu bertahan dengan pengharapan hidup yang meski tidak seperti sebelumnya. Bagi korban kekerasan seksual yang tidak kuat mental, tidak jarang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya ketimbang menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, atau trauma psikologis yang hebat, bahkan rawan terkena penyakit seksual menular. 


Masing-masing dari kita, mempunyai tugas untuk menjadi pegiat kerja advokasi untuk perubahan besar dalam jangka panjang, demi penegakan hak asasi perempuan dan anak-anak. Jika hati nurani Anda masih angkuh untuk bersikap apatis terhadap isyu ini, bukankah kita semua terlahir dari seorang perempuan? Kekuasaan dan kepentingan seringkali membuat manusia lupa bagaimana caranya menjadi manusia, mereka diliputi kerakusan naif, menyiksa perempuan dan anak-anak dengan teror mental. Apapun bentuknya, konflik adalah potret krisis dalam berbagai macam dimensi manusia. Bahkan dalam keadaan darurat, militer yang seharusnya menjadi pelindung, seringkali malah menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Lantas, pada situasi konflik, siapa lagi yang bisa kita beri kepercayaan?

Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dalam wilayah konflik. Kita tentu ingat, bagaimana kasus etnis tahun 1998-1999, kasus di Aceh, Poso, Maluku dan Papua di saat genting-gentingnya. Perempuan dan anak-anak terbungkam dalam nanar yang tak seharusnya mereka rasakan. Lantas bagaimana pemerintah kita memberi pendampingan pada para korban kekerasan seksual pasca konflik? Tentu saja negara mempunyai kewajiban dalam upaya pemulihan, bukan hanya pemulihan dalam jangka pendek. Pemulihan ini mempunyai makna dalam dan luas, serta dibutuhkan konsistensi. Penting untuk melihat kebutuhan terkait pencegahan dan penanganan para korban kekerasan seksual, tidak hanya oleh masyarakat dan korban, tetapi juga didukung oleh eksekutif dan legislatif, terkait rumusan strategis dan implementatif untuk mencegah terjadinya hal yang sama di kemudian hari.

Dua hal mendasar yang tertinggal pasca konflik. Pertama, tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, semacamnya, tidak ada kejelasan hukum sampai sekarang. Kedua, akses semua layanan kesehatan baik psikologis maupun fisik bagi para korban, yang masih kurang. Organisasi hak Amnesty Internasional merangkum ini menjadi beberapa indikator, seperti: berapa banyak tentara yang melakukan kekerasan seksual? Seberapa besar pos dalam anggaran suatu negara untuk membantu korban kekerasan seksual di bidang ekonomi, sosial, psikologi dan sektor hukum? Apakah setiap pemerintahan telah menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1325, mengenai keikutsertaan perempuan dalam perundingan perdamaian, serta perlindungan bagi perempuan di wilayah konflik? Apakah kita telah memperhatikan testimoni atau kesaksian dari para korban? Apakah ada investigasi terkait kekerasan tersebut? Apakah korban kekerasan seksual memiliki akses pada pelayanan medis secara gratis sebagai upaya pemulihan? Berapa banyak jumlah perempuan pekerja medis dalam upaya pemulihan tersebut? Serta lain-lainnya. 

Tidak ada sistem universal terkait layanan yang tersedia untuk pemulihan korban kekerasan seksual. Bentuk layanan itu bervariasi dari masyarakat untuk masyarakat. Pertama, pada tingkat intervensi individu: berupaya untuk memperbaiki konsekuensi yang dihadapi korban individu. Kedua, di tingkat masyarakat: berupaya untuk mengubah sistem stigma masyarakat atas korban kekerasan seksual. Hanya itu yang biasa kita temui. Konseling dan dukungan oleh kelompok sesama mungkin menjadi layanan yang paling digunakan oleh perempuan korban kekerasan seksual, untuk berbicara tentang perasaan mereka. Tapi hampir tidak ada studi lanjut terkait evaluasi untuk layanan tersebut. Saat ini tidak ada cara yang jelas untuk mengukur pemberdayaan wanita-wanita dan anak-anak korban kekerasan seksual. Khususnya, di Indonesia. Terus terang, banyak dari kita yang tidak peduli tentang masalah ini. Sayangnya, kita justru sengaja memilih untuk tidak peduli tentang isyu ini. 

Kita, tidak boleh menolak lupa pada kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak di daerah konflik. Hal ini agar tidak berulang, agar tidak menjadi rantai nanar yang terus berulang dalam setiap konflik. Pemerintah harus memastikan perlindungan hak-hak konstitusional perempuan dan mengembangkan mekanisme bagi penegakannya melalui peraturan-peraturan daerah. Khusus wilayah konflik, pemerintah harus segera melakukan dialog dengan masyarakt setempat secara damai, bermartabat dan memastikan jaminan keamanan dengan cara pendekatan untuk menghentikan kekerasan. Masyarakat, khususnya lembaga sosial, agama, budaya perlu meningkatkan peran aktifnya dalam dukungan relawan demi pemenuhan rasa keadilan bagi korban, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membatasi ruang gerak perempuan korban kekerasan seksual.

Kita, tidak boleh menolak untuk berempati dan peduli kepada kasus yang menodai adab dan nilai-nilai kemanusiaan di sekitar kita. Jika kita bersikap acuh, layakkah kita hidup dengan predikat 'manusia'? Kita bisa menjadi aktor-aktor dalam upaya advokasi, setidaknya untuk orang-orang di sekitar kita, maupun dalam lingkup luas.


Regards,

Bening Rahardjo




Read more for English Version


"The soldiers set fire to our villages. They shot our husbands and brothers, burned our houses. They stopped to wait for the sound of our babies crying. When they cried, the soldiers came toward the wailing. They killed our babies. They raped us..."
 - Mayan woman in Guatemala, a survivor of rape as a weapon of the war.


Every conflict between countries, regions and groups always make damage and violence on civilians. Conflict region is an area that is prone to violence, particularly against women and children. Sexual violence based Gender is often used as a tool of war to attack women and children. Mostly in an emergency situation such as war and conflict, the state does not have enough resources to enforce the law and protect the rights of their civilians. The magnitude numbers of violence against women is motivated by the prolonged conflict that brought region or country into humanitarian crisis. Sexual violence in armed conflict areas have variety motifs in action. Therefore, it is considered as an effective weapon to destroy the opponent mentally, for example, or destroying the moral individuals, families and groups. Lack of public awareness about protection for sexual violence victims, reinforces the stigma and stereotype in society that causes trauma, shame, fear and burden, so that the victims do not dare to report sexual crimes that have been experienced.

Trauma rape is highly difficult to overcome. They all, the victims of sexual violence, have some kind of trauma. However, they just process it in different way. In deep trauma feeling, nobody is able to understand. However, with all courage and resilience of many victims, some of them were able to survive with their life expectancy though it is not same as before. For victims of sexual violence who are not strong in mentally, common, prefer to end their life rather than face an unwanted pregnancy, or severe psychological trauma, even prone to sexually transmitted diseases.

Each of us has a duty to become an activist advocacy work for major changes in the long term, for the enforcement of women and children rights. If your conscience is still proud to be apathetic towards this issue, let's think, do not we all born from a woman? Authority and interests often make people forget how to be human, they are filled with their naively greed, they torture women and children with mental terror. Whatever its form, conflict is a portrait of crisis in a wide range of human dimensions. Even in an emergency situation, military which is supposed to be protective, even become abusers itself. Then, in conflict situation, who else can we give trust?

Do not have far to look for the examples of sexual violence case against women and children in conflict areas. We certainly remember, how ethnic case happen in 1998-1999, how sexual violence also happen Aceh, Poso, Maluku and Papua, at the critical time. Women and children are silenced in bleary that should not they feel. So, how our government give assistance to sexual violence victims after-conflict? Of course, the state has an obligation in recovery effort, not only in short-term recovery. This recovery has deep and broad meaning, as well as the consistency itself. It is important to see all need to prevention and treatment for all sexual violence victims, not only by society and the victims. But it is also supported by the executive and legislative, related strategic formulation and implementable to prevent the same thing later on.

Two basic things are left behind after conflicts. First, sexual violence against women and children, likely, there is no legal clarity until now. Second, access to all services both psychological and physical health of victims, who are still lackingAmnesty International Rights Organization summarizes these into several indicators, such as: how many soldiers who did sexual violence? How many budget from a country to help sexual violence victims in the economic, social, psychological and legal sector? Is every government has implemented the UN Security Council Resolution Number 1325, on the participation of women in peace negotiations, as well as the protection of women in conflict areas? Do we have noticed testimony of the victims? Is there an investigation after violence? Are victims of sexual violence have access to medical services for free as recovery efforts? How many number of female medical personnel in recovery effort? And others.


There is no universal system of related services available for the victims of sexual violence. The shape of the services vary from community to community. First, at individual level intervention: attempt to fix consequences faced by individual victim. Second, at society level intervention: working to change social stigma system for sexual violence victims. Simply that things which we usually find in every sexual violence case. Counseling and peer support groups may be the most used services by women victims of sexual violence, to talk about their feelings. But almost no evaluation of further studies related to such services. Currently there is no clear way to measure the empowerment women and children of sexual violence victims. Particulary, in Indonesia. Frankly, many of us who don't care about this issue. And sadly, we just deliberately chose to not care about this issue.


We should not refuse to forget the cases of sexual violence experienced by women and children in conflict areas. In order, so that case is not repeated as blankly chain in every conflict. The government must ensure protection for women constitutional right and to develop mechanisms for their enforcement through regional regulations. Special in conflict areas, the government should immediately conduct dialogue with local society in peace, dignity and ensure security by approach way to stop the violence. Society, particulary such like social, religion, and culture institution needs to increase their active role as volunteer support of justice fulfillment for the victims, fight for human values, without limiting the space for women of sexual violence victims.

We should not refuse to empathize and care for whatever cases that tarnish civilized and human values around us. If we are indifferent, is that worth if we get predicate as 'human' during our life? We can become actors in advocacy efforts, at least for those around us, as well as wide scope.  



Regards,


Bening Rahardjo